Rabu, 20 Agustus 2008

Perlu Reformulasi Hukum

Ketika vonis hukuman mati dijatuhkan, jantung kemanusiaan kita berdegub kencang. Tubuh terasa merinding mencium anyir darah hukuman mati. Itulah sepenggal rasa yang meletup ketika vonis eksekusi hukuman mati diketuk. Bagaimana tidak, putusan kematian sudah ditentukan. Sebagaimana yang dijalani oleh Sumiarsih dan Sugeng (19 Juli 2008), pelaku pembunuhan berencana. Nyawanya berakhir diujung peluru.

Vonis hukuman mati pun masih berserakan di berbagai lembaga peradilan. Putusan hukuman mati menjadi persoalan menggelisahkan ketika yang tersandung kasus adalah kaum marjinal. Warga miskin yang hidup di lorong krisis ekon0mi, tak berdaya di tengah ketidakadilan hukum. Masyarakat yang buta sistem hukum negeri ini, akan semakin tertindas.

Jika melihat hukum Indonesia yang masih karut-marut, justru ini akan menjadi bumerang bagi pembangunan fondasi kemanusiaan. Ironis memang, negara yang menjunjung tinggi peradaban dan demokrasi, justru mengalami grafik peningkatan kejahatan. Mulai dari kasus kriminal sampai kasus korupsi yang menduduki rangking atas di dunia internasional.

Hukuman mati di negeri ini hendaknya dipikirkan ulang, agar nilai kemanusiaan tidak terpenggal. Sebagian besar negara-negara di dunia telah menghapus hukuman tersebut baik secara de facto maupun de jure. Walaupun, terbukti manjur menghapus penjahat birokrasi, hukuman mati di China menuai banyak kecaman.

Indonesia merupakan salah satu dari negara-negara di dunia yang masih menerapkan hukuman mati, sebagaimana di Cina, Amerika Serikat, Kongo, Arab Saudi, dan Iran. Meskipun terdapat ketentuan pasal-pasal yang mengandung ancaman eksekusi hukuman mati, antara lain beberapa pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, UU No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, serta UU Anti-Terorisme.

Akan tetapi, terjadi paradoks dalam bingkai hukum negeri ini. UUD 1945 sebagai dasar hukum negara tertinggi mengamanatkan dalam pasal 28 ayat 1, bahwa ”hak hidup tiap orang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. Jadi, pelaksanaan hukuman mati menunjukkan inkonsistensi dalam sistem hukum kita.

Hal ini merupakan ironi dalam traktat hukum Indonesia. Kenapa tidak mencoba bereksplorasi berdasarkan kebutuhan publik?. Kita perlu mendorong reformulasi hukum, agar keadilan lebih menggema dalam nafas hidup bangsa secara utuh. Pada titik ini, bukan sekedar bagaimana melihat hukuman mati sebagai tindakan melanggar hak hidup manusia. Akan tetapi, bagaiman negara mampu menawarkan alternatif dan solusi kongkret dalam penegakan hukum. Tentu, kinerja progresif pemerintah akan menjadi lilin yang menerangi gelapnya masa depan hukum negeri ini.

Tidak ada komentar: