Ketika vonis hukuman mati dijatuhkan, jantung kemanusiaan kita berdegub kencang. Tubuh terasa merinding mencium anyir darah hukuman mati. Itulah sepenggal rasa yang meletup ketika vonis eksekusi hukuman mati diketuk. Bagaimana tidak, putusan kematian sudah ditentukan. Sebagaimana yang dijalani oleh Sumiarsih dan Sugeng (19 Juli 2008), pelaku pembunuhan berencana. Nyawanya berakhir diujung peluru.
Vonis hukuman mati pun masih berserakan di berbagai lembaga peradilan. Putusan hukuman mati menjadi persoalan menggelisahkan ketika yang tersandung kasus adalah kaum marjinal. Warga miskin yang hidup di lorong krisis ekon0mi, tak berdaya di tengah ketidakadilan hukum. Masyarakat yang buta sistem hukum negeri ini, akan semakin tertindas.
Jika melihat hukum
Hukuman mati di negeri ini hendaknya dipikirkan ulang, agar nilai kemanusiaan tidak terpenggal. Sebagian besar negara-negara di dunia telah menghapus hukuman tersebut baik secara de facto maupun de jure. Walaupun, terbukti manjur menghapus penjahat birokrasi, hukuman mati di
Akan tetapi, terjadi paradoks dalam bingkai hukum negeri ini. UUD 1945 sebagai dasar hukum negara tertinggi mengamanatkan dalam pasal 28 ayat 1, bahwa ”hak hidup tiap orang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. Jadi, pelaksanaan hukuman mati menunjukkan inkonsistensi dalam sistem hukum kita.
Hal ini merupakan ironi dalam traktat hukum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar