Rabu, 20 Agustus 2008

Selebritisme Aktor Politik

Genderang pemilu presiden 2009 telah ditabuh, politik negeri ini pun memanas. Aroma politik memacu para kandidat presiden untuk promosi dan berlomba-lomba mendeklarasikan diri siap maju menjadi orang nomor satu di bumi pertiwi ini. Siapa cepat dia dapat dan siapa dikenal ia menang, barangakali semboyan itulah yang melatari mereka giak berkampanye.

Setidaknya ini dapat dilihat dari geliat para calon meramaikan media massa dengan beriklan. Seperti misalnya, Wiranto yang menyuguhkan simbol pengentasan kemiskinan, Prabowo Subianto lewat HKTI, Sutrisno Bachir dengan isu kebangsaannya, tak luput juga Megawati dan Rizal Mallarangeng. Mereka semua berbondong-bondong mengiklankan diri di berbagai media massa demi mencapai popularitas yang dinginkan.

Di sini media massa seperti, televisi, surat kabar, radio maupun majalah adalah tempat paling efektif dalam merebut simpati publik. Rizal Mallarangeng misalnya, belakangan tengah merancang 25 versi iklan yang siap menggempur media. Hal ini juga pernah dilakukan oleh Obama dan Hillary dengan menyiapkan sebanyak 63 versi iklan.

Dari sekian rentetan media massa, televisi menjadi media elektronik yang banyak dipilih. Masyarakat indonesia kekinian memandang televisi sebagai salah satu kebutuhan yang hampir sama dengan makan. Menu harian keluarga tak lepas dari menonton televisi. Diperkirakan setiapa keluarga di Indonesia mempunyai pesawat televisi. Rasa-rasanya ada yang kurang jika sebuah keluarga tidak mempunyai pesawat televisi.

Hal kecil jika diulang-ulang di tayangkan di televisi, maka akan menjadi besar. Bisa dibayangkan jika sehari mereka nongol di layar kaca sebanyak 20 kali, maka seminggu mereka akan tampil sebanyak 140 kali, begitu seterusnya, sampai menjelang pemilu.

Logika inilah yang melatarbelakangi televisi sebagai media massa elektronik yang digemari para calon presiden untuk beriklan. Tentunya mereka ingin cepat dikenal dan populer dimasyarakat dan tidak menginginkan kesia-siaan dalam berkampanye.

Terobosan para calon presiden ini barangkali diilhami oleh popularitas yang dicapai para selebriti dengan instan. Seorang selebriti baru misalnya, dapat langsung dikenal dengan adanya pemberitaan tentang dirinya di televisi. Terlepas apakah pemberitaan itu buruk atau tidak.

Pada titik inilah selebritisme para calon presiden lahir. Sebuah sikap mengekor yang dipelajari dari kesuksesan seorang selebriti dalam melejitkan namanya dan dikenal publik.

Memang tak dapat dipungkiri, jika kandidat selayaknya dikenal publik sebelum pemilihan berlangsung. Komisi pemilihan umum (KPU) sendiri memberikan peluang para kandidat untuk berkampanye. Sebagaimana juga bagi partai –partai yang lolos verifikasi KPU sebanyak 32 partai. Mereka membutuhkan ruang untuk mengiklankan diri. Kebutuhan akan boomingnya nama kandidat sangat berpengaruh dalam pencalonan mereka untuk menduduki kursi kepresidenan. Asumsi ketenaran yang akan memuluskan jalan bagi mereka begitu kuat dalam benak mereka.

Butuh kerja nyata

Meski para calon presiden membumi, namun ruhnya masih tertinggal. Ruh adalah sebuah inti dari tindakan, yakni yang melatarbelakangi ghirah (hasrat) mereka ramai-ramai berkampanye lewat iklan. Sehingga bentuknya nyata dan tidak berupa tanda (sign) seperti dalam iklan, melainkan wujud kogkret tawaran idealisme. Hal inilah yang dilupakan para calon presiden. Padahal dari sini rakyat dapat melihat secara obyektif kredibilitas calon pemimpinnya.

Bisa dikatakan, politik pencitraan bak ajang kontes popularitas belaka. Karena Para politisi mengahambur-hamburkan triliyunan uang hanya untuk membangun citra yang baik dihadapan jutaan pasang mata msyarakat indonesia. Berebut simpati fans sebagaimana yang dilakukan artis. Itulah yang saat ini dilakukan oleh banyak kandidat, baik calon gubernur, calon walikota maupun calon presiden. Sehingga popularitas mampu didapat dalam waktu relatif singkat

Untuk apa memiliki pemimpin yang hanya pamer muka dan progam. Jika semua hanya fatamorgana dan tidak mampu direalisasikan. Bukan tanpa alasan, karena rakyatpun sudah jenuh mendengar janji-janji yang diiklankan. Apalagi kandidat tersebut berasal dari partai yang kadernya sering tersandung kasus korupsi. Akankah ini justru jadi bumerang bagi sang kandidat? Atau malah sebaliknya? Rakyat kembali menjadi tumbal dalam proses demokrasi diindonesia.

Namun, para kandidat mencoba membuyarkan opini publik yang sudah terlanjur terbangun. Yakni, dengan berlomba-lomba mencitrakan diri sebagi sosok humanis yang peduli dengan kondisi rakyat saat ini. Baik lewat media cetak maupun elektronik. Dengan sejumlah tayangan seolah benar-benar peduli dengan nasib yang tengah dialami rakyat. Adapula kandidat yang sering bersinggungan dengan media. Contohnya, para kandidat menjadi rajin mengnghadiri event-event publik yang banyak diekspos media. Bahkan, tidak banyak kegiatan sosial yang pernah diikuti para calon kandidat dikupas habis-habisan.

Kita tunggu saja apakah selebritisme mampu mendongkrak karier politik mereka? Dan masyarakat percaya dengan pamor mereka. Atau justru terdapat penggadaian atas suara rakyat dengan politik terselubung. Yakni, lewat popularitas yang masih mengandalkan money politik. Sehingga popularitas semu justru semakin semu bagi kandidat maupun rakyat.

Perlu Reformulasi Hukum

Ketika vonis hukuman mati dijatuhkan, jantung kemanusiaan kita berdegub kencang. Tubuh terasa merinding mencium anyir darah hukuman mati. Itulah sepenggal rasa yang meletup ketika vonis eksekusi hukuman mati diketuk. Bagaimana tidak, putusan kematian sudah ditentukan. Sebagaimana yang dijalani oleh Sumiarsih dan Sugeng (19 Juli 2008), pelaku pembunuhan berencana. Nyawanya berakhir diujung peluru.

Vonis hukuman mati pun masih berserakan di berbagai lembaga peradilan. Putusan hukuman mati menjadi persoalan menggelisahkan ketika yang tersandung kasus adalah kaum marjinal. Warga miskin yang hidup di lorong krisis ekon0mi, tak berdaya di tengah ketidakadilan hukum. Masyarakat yang buta sistem hukum negeri ini, akan semakin tertindas.

Jika melihat hukum Indonesia yang masih karut-marut, justru ini akan menjadi bumerang bagi pembangunan fondasi kemanusiaan. Ironis memang, negara yang menjunjung tinggi peradaban dan demokrasi, justru mengalami grafik peningkatan kejahatan. Mulai dari kasus kriminal sampai kasus korupsi yang menduduki rangking atas di dunia internasional.

Hukuman mati di negeri ini hendaknya dipikirkan ulang, agar nilai kemanusiaan tidak terpenggal. Sebagian besar negara-negara di dunia telah menghapus hukuman tersebut baik secara de facto maupun de jure. Walaupun, terbukti manjur menghapus penjahat birokrasi, hukuman mati di China menuai banyak kecaman.

Indonesia merupakan salah satu dari negara-negara di dunia yang masih menerapkan hukuman mati, sebagaimana di Cina, Amerika Serikat, Kongo, Arab Saudi, dan Iran. Meskipun terdapat ketentuan pasal-pasal yang mengandung ancaman eksekusi hukuman mati, antara lain beberapa pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, UU No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, serta UU Anti-Terorisme.

Akan tetapi, terjadi paradoks dalam bingkai hukum negeri ini. UUD 1945 sebagai dasar hukum negara tertinggi mengamanatkan dalam pasal 28 ayat 1, bahwa ”hak hidup tiap orang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. Jadi, pelaksanaan hukuman mati menunjukkan inkonsistensi dalam sistem hukum kita.

Hal ini merupakan ironi dalam traktat hukum Indonesia. Kenapa tidak mencoba bereksplorasi berdasarkan kebutuhan publik?. Kita perlu mendorong reformulasi hukum, agar keadilan lebih menggema dalam nafas hidup bangsa secara utuh. Pada titik ini, bukan sekedar bagaimana melihat hukuman mati sebagai tindakan melanggar hak hidup manusia. Akan tetapi, bagaiman negara mampu menawarkan alternatif dan solusi kongkret dalam penegakan hukum. Tentu, kinerja progresif pemerintah akan menjadi lilin yang menerangi gelapnya masa depan hukum negeri ini.

Selasa, 29 Juli 2008

Memperkenalkan Ekologi Education sejak dini

Ironis, areal pertanian yang tersebar di 13 wilayah provinsi yang mana tujuh provinsi menjadi sentra produksi mengalami banjir terluas, yakni Jawa tengah, Jawa timur, Jawa barat, Aceh darussalam, Kalimantan Barat, Banten dan Sumatra utara (Dirjen Tanaman Pangan Departemen Pertanian, 09/01/08). Dan kala musim kemarau tiba krisis air tak dapat terhindarkan. Sungguh potret alam yang terus berulang tanpa ada penanganan yang berarti.

Kerusakan hutan dan hilangnya daerah resapan dikota-kota besar akibat pembangunan gedung dan mall skala besar merupakan penyebab utama. Wilayah yang seharusnya menjadi daerah pertahanan justru hilang fungsi dan menjadi ladang profit oriented. Lemahnya aparat dalam menindak oknum-oknum yang terlibat dalam kasus tersebut jelas makin mempersulit penanganan atas kejahatan lingkungan. Parahnya, justru beberapa aparat pemerintah maupun warga yang terlibat didalam kasus tersebut justru dilepaskan lagi setelah tertangkap (LBH bandar lampung). Selama ini pemerintah belum mampu memberikan solusi konkret atas peristiwa bencana yang terjadi. Dan dari pihak masyarakat sendiri belum terdapat penanggulangan yang membentuk kesadaran lingkungan. Yakni adanya sikap dalam memposisikan alam sebagai sahabat. Padahal pada kenyataannya masyarakat indonesia lebih dekat dengan lingkungan alamnya ketimbang teknologi.

Untuk itulah, penting memperkenalkan anak terhadap pelestarian lingkungan sejak usia dini sebagai upaya penanggulangan jangka panjang. Lewat hal-hal kecil seperti buang sampah pada tempatnya dan sering mengajak mereka berinteraksi langsung dengan tumbuh-tumbuhan, bagaimana cara merawat dan memberitahukan fungsi-fungsinya. Dengan cara melibatkan mereka dengan kegiatan penanaman pohon juga tidak bisa dianggap hal remeh. Karena dari situ mereka memperoleh pemahaman pentingnya tumbuh-tumbuhan bagi kelangsungan makhluk hidup.

Kegiatan outbound yang sekarang menjadi trend juga menjadi sarana terbaik menghantarkan mereka untuk bersahabat dengan alam. Semakin Banyaknya kegiatan anak-anak yang dibenturkan langsung dengan alam akan merangsang mereka dalam memaknai alam. Tidak perlu membutuhkan biaya mahal karena mengajak mereka keluar untuk melihat pekarangan sekitar sudah merupakan bentuk pendidikan. Hal inlah yang harus terus diupayakan sehingga terbentuk mental-mental yang cinta terhadap alam dan menjaga kelestariannya.

Upaya tersebut juga harus dibarengi dengan penanggulangan jangka pendek. Yakni,pemerintah harus mengajak warga masyarakat setempat untuk menjaga kelestarian hutan sebagai wujud pertahanan kearifan budaya lokal. satu bentuk kepedulian untuk memulihkan kondisi linkungan yang sudah parah.

Pemerintaah harus memfasilitasi masyarakat melalui berbagai bekal yakni penyuluhan dan sarana yang menunjang. Semisal, bibit dan alat-alat penunjang lainnya. Konkretnya, pemerintah dan masyarakat sama-sama memprioritaskan keselamatan bersama dibandingkan profit oriented dari hasil hutan.

Adanya kerja sama yang baik antara masyarakat dan pemerintah diharapakan mampu mengeliminir adanya illegal loging secara besar-besaran yang dampaknya jelas akan merusak lingkungan dan menimbulkan berbagai bencana.

Jumat, 27 Juni 2008

Kenaikan Harga BBM,Kebijakan yang Tidak Merakyat

Tidak dapat dipungkiri kalau akhir-akhir ini sebagian masyarakat indonesia cenderung memilih
jalur anarkis sebagai jalan akhir sebagai penyelesaian atas suatu problem. Hal ini tidak terlepas dari kondisi psikis masyarakat yang semakin terbebani dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak terhadap mereka. Ambil contoh yang ramai diperdebatkan saat ini adalah kenaikan BBM yang justru semakin menjerat nasib rakyat. Padahal mencari lapangan pekerjaan susah, gaji pas-pasan,bahkan bisa-bisa terkena PHK akibat terkena dampak kenaikan BBM, sedangkan biaya hidup mahal, harga kebutuhan pokok semakin meroket& biaya pendidikanpun semakin mahal. Sehingga emosi cenderung tidak terkontrol dan situasi seperti ini justru dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan mereka.

Sebagai rakyat kecil, ibarat mau makan saja tidak diperbolehkan. apalagi mau pintar, darimana tenaga dan gizi mereka kalau kondisi mereka kelaparan. Seolah para penguasa membuat kebijakan dengan menganggap mereka tidak pernah ada. tidakkah malu dengan amanat yang dipercayakan kepada mereka untuk mensejahterakan rakyat indonesia bukannya malah hanya mensejahterakan rakyat sendiri (baca: keuntungan pribadi). untuk itulah muncul mosi tidak percaya terhadap pemerintah oleh rakyatnya sendiri. Dan anakisme adalah bentuk luapan emosi mereka.

ruang jeda
mita masymin araera

Jumat, 23 Mei 2008

Cari Partner Sharring soal Sastra&Issue Nasional


Bagi kawan-kawan yang memiliki pendapat& informasi apapun tentang sastra maupun issu nasional.


tolong kasih infonya!! bagi-bagilah ilmu.

Sabtu, 19 April 2008

Kegelisahan sang pemuda

Kuawali ruang jeda disela-sela kesibukan beraktifitas seahari-hari. mencoba memuntahkan uneg-uneg yang mengendap dalam rasioku selama sehari. Membubuhkan support untuk diri sendiri disaat rasa telah mengendalikan dan merapuhkan argumen-argumen brillianku. Aku merasakan keterasingan dalam lingkungan sendiri, merasa kaku saat bertegur sapa dengan sesama. Semua terjadi begitu tiba-tiba dan tidak terencana disaat aku benar-benar sendiri dalam kebekuan.

Bahkan kegilaanku menterjemahkan cinta sesukaku, kukatakan kalau jatuh cinta hanya akan merong-rong kerja akal dan hanya akan menyia-nyiakan waktu. Karena anggapanku kalau jatuh cinta hanyalah akan menambah daftar panjang penyebab manusia bertingkah laku aneh, angkuh, sombong, egois, cengeng atau bahkan sadis karena mencampakkan orang yang pernah dikatakan sebagai oarang yang dikasihi dan dicintai. Menciptakan suasana yang tiba-tiba sekejap jadi indah dan hanya milik berdua. bahkan banyak bermunculan pujangga-pujangga baru secara instan bak jamur dimusim hujan. Sebegitukah pendewaan cinta? apakah tidak merasa kalau itu hanya akan menjebak manusia menjadi budak cinta? repot juga kalau aku hanya mencari referensi dan menciptakan konsep baru soal cinta. keburu aku sendiri yang terjebak dalam rantai jatuh cinta.

Bukannya naif tapi bukankah masih banyak hal-hal yang perlu diperdulikan? prestasi pendidikan, kemiskinan yang melanda negeri, kelaparan yang membuncitkan perut dan membutakan hati, atau melihat nasib saudara kita yang terpaksa mengais rejeki dijalanan dengan sedikit membuka mulut dan nelengkingkang suara yang memembentuk nada-nada indah namun kecut dihati karena semua hanya terpaksa.

Terpaksa berpanas-panasan sambil membawa kecrek atau menjajakan dagangan asongan yang sudah dibawa mondar-mandir selama sehari. Membuang waktu yang seharusnya diisi oleh petuah-petuah buah pikiran pemikir besar dan handal seperti soekano, kihajar dewantara, einsten atau pemikir-pemikir besar lainnya.

Seharusnya mereka duduk mempelajari angka-angka yang berjajar ataupun berderet bahkan munkin sekedar belajar abjad yang tersusun menjadi kata-kata yang bisa membwa perubahan dan renaisance bagi kehidupan. Namun, semua itu hanya omong kosong dan fatamorgana semata jika pemuda seperti aku juga terjebak pada rantai cinta-cintaan ansich yang ramai dibicarakan dan berlomba-lomba dipertontonkan. inilah yang terkadang mengkonsletkan persepsiku atas pemaknaan cinta kaum remaja yang disimbolkan dengan yang namanya pacaran.


dipojok ruang kosong
kudus, 19 april 2008

mita masymin araera