Setidaknya ini dapat dilihat dari geliat para calon meramaikan media massa dengan beriklan. Seperti misalnya, Wiranto yang menyuguhkan simbol pengentasan kemiskinan, Prabowo Subianto lewat HKTI, Sutrisno Bachir dengan isu kebangsaannya, tak luput juga Megawati dan Rizal Mallarangeng. Mereka semua berbondong-bondong mengiklankan diri di berbagai media massa demi mencapai popularitas yang dinginkan.
Di sini media massa seperti, televisi, surat kabar, radio maupun majalah adalah tempat paling efektif dalam merebut simpati publik. Rizal Mallarangeng misalnya, belakangan tengah merancang 25 versi iklan yang siap menggempur media. Hal ini juga pernah dilakukan oleh Obama dan Hillary dengan menyiapkan sebanyak 63 versi iklan.
Dari sekian rentetan media massa, televisi menjadi media elektronik yang banyak dipilih. Masyarakat indonesia kekinian memandang televisi sebagai salah satu kebutuhan yang hampir sama dengan makan. Menu harian keluarga tak lepas dari menonton televisi. Diperkirakan setiapa keluarga di Indonesia mempunyai pesawat televisi. Rasa-rasanya ada yang kurang jika sebuah keluarga tidak mempunyai pesawat televisi.
Hal kecil jika diulang-ulang di tayangkan di televisi, maka akan menjadi besar. Bisa dibayangkan jika sehari mereka nongol di layar kaca sebanyak 20 kali, maka seminggu mereka akan tampil sebanyak 140 kali, begitu seterusnya, sampai menjelang pemilu.
Logika inilah yang melatarbelakangi televisi sebagai media massa elektronik yang digemari para calon presiden untuk beriklan. Tentunya mereka ingin cepat dikenal dan populer dimasyarakat dan tidak menginginkan kesia-siaan dalam berkampanye.
Terobosan para calon presiden ini barangkali diilhami oleh popularitas yang dicapai para selebriti dengan instan. Seorang selebriti baru misalnya, dapat langsung dikenal dengan adanya pemberitaan tentang dirinya di televisi. Terlepas apakah pemberitaan itu buruk atau tidak.
Pada titik inilah selebritisme para calon presiden lahir. Sebuah sikap mengekor yang dipelajari dari kesuksesan seorang selebriti dalam melejitkan namanya dan dikenal publik.
Memang tak dapat dipungkiri, jika kandidat selayaknya dikenal publik sebelum pemilihan berlangsung. Komisi pemilihan umum (KPU) sendiri memberikan peluang para kandidat untuk berkampanye. Sebagaimana juga bagi partai –partai yang lolos verifikasi KPU sebanyak 32 partai. Mereka membutuhkan ruang untuk mengiklankan diri. Kebutuhan akan boomingnya nama kandidat sangat berpengaruh dalam pencalonan mereka untuk menduduki kursi kepresidenan. Asumsi ketenaran yang akan memuluskan jalan bagi mereka begitu kuat dalam benak mereka.
Butuh kerja nyata
Meski para calon presiden membumi, namun ruhnya masih tertinggal. Ruh adalah sebuah inti dari tindakan, yakni yang melatarbelakangi ghirah (hasrat) mereka ramai-ramai berkampanye lewat iklan. Sehingga bentuknya nyata dan tidak berupa tanda (sign) seperti dalam iklan, melainkan wujud kogkret tawaran idealisme. Hal inilah yang dilupakan para calon presiden. Padahal dari sini rakyat dapat melihat secara obyektif kredibilitas calon pemimpinnya.
Bisa dikatakan, politik pencitraan bak ajang kontes popularitas belaka. Karena Para politisi mengahambur-hamburkan triliyunan uang hanya untuk membangun citra yang baik dihadapan jutaan pasang mata msyarakat indonesia. Berebut simpati fans sebagaimana yang dilakukan artis. Itulah yang saat ini dilakukan oleh banyak kandidat, baik calon gubernur, calon walikota maupun calon presiden. Sehingga popularitas mampu didapat dalam waktu relatif singkat
Untuk apa memiliki pemimpin yang hanya pamer muka dan progam. Jika semua hanya fatamorgana dan tidak mampu direalisasikan. Bukan tanpa alasan, karena rakyatpun sudah jenuh mendengar janji-janji yang diiklankan. Apalagi kandidat tersebut berasal dari partai yang kadernya sering tersandung kasus korupsi. Akankah ini justru jadi bumerang bagi sang kandidat? Atau malah sebaliknya? Rakyat kembali menjadi tumbal dalam proses demokrasi diindonesia.
Namun, para kandidat mencoba membuyarkan opini publik yang sudah terlanjur terbangun. Yakni, dengan berlomba-lomba mencitrakan diri sebagi sosok humanis yang peduli dengan kondisi rakyat saat ini. Baik lewat media cetak maupun elektronik. Dengan sejumlah tayangan seolah benar-benar peduli dengan nasib yang tengah dialami rakyat. Adapula kandidat yang sering bersinggungan dengan media. Contohnya, para kandidat menjadi rajin mengnghadiri event-event publik yang banyak diekspos media. Bahkan, tidak banyak kegiatan sosial yang pernah diikuti para calon kandidat dikupas habis-habisan.
Kita tunggu saja apakah selebritisme mampu mendongkrak karier politik mereka? Dan masyarakat percaya dengan pamor mereka. Atau justru terdapat penggadaian atas suara rakyat dengan politik terselubung. Yakni, lewat popularitas yang masih mengandalkan money politik. Sehingga popularitas semu justru semakin semu bagi kandidat maupun rakyat.